Forever 21 Tutup Seluruh Toko di AS: Era Baru Industri Ritel Fast Fashion?

Sumber Foto : Freepik

Raksasa ritel Forever 21 resmi mengumumkan penutupan seluruh gerainya di Amerika Serikat setelah kembali mengajukan kebangkrutan. Keputusan ini diambil akibat meningkatnya tekanan dari kompetitor global, naiknya biaya produksi, serta perubahan tren konsumen yang sulit diikuti.

Dalam pernyataan pada Minggu (16/3/2025), perusahaan yang mengoperasikan Forever 21 di AS mengungkapkan bahwa toko fisik dan situs web mereka masih akan beroperasi sementara selama proses likuidasi berlangsung. Namun, perusahaan tetap membuka peluang bagi investor atau pembeli potensial di saat-saat terakhir.

Industri Ritel dalam Krisis: Penjualan Merosot, Toko Fisik Terancam

Kondisi Forever 21 mencerminkan tantangan yang lebih luas dalam industri ritel. Laporan resmi pemerintah AS menunjukkan bahwa pertumbuhan penjualan ritel bulan lalu hanya naik 0,2%, jauh dari ekspektasi. Sementara itu, tingkat perekrutan tenaga kerja di sektor ini stagnan, menandakan semakin banyak toko fisik yang berisiko tutup tahun ini.

Para analis memperingatkan bahwa tren penutupan toko akan terus berlanjut seiring pergeseran kebiasaan belanja konsumen ke platform digital yang lebih fleksibel dan efisien.

Kejayaan Forever 21: Dari Ikon Fast Fashion ke Masa Sulit

Didirikan pada 1984 oleh pasangan imigran Korea di California, Forever 21 pernah menjadi kiblat fashion bagi generasi milenial. Bersama H&M dan Abercrombie & Fitch, brand ini mendominasi pusat perbelanjaan dan menjadi favorit remaja pencinta mode.

Puncak kesuksesan terjadi pada 2015, ketika penjualannya melampaui USD 4 miliar (sekitar Rp 65 triliun). Kekayaan bersih para pendirinya, Jin Sook dan Do Won Chang, saat itu diperkirakan mencapai USD 5,9 miliar (sekitar Rp 96,7 triliun).

Namun, memasuki dekade 2010-an, kejayaan Forever 21 mulai meredup. E-commerce semakin mendominasi pasar, sementara brand fast fashion ultra-murah seperti Shein dan Temu merajalela dengan model bisnis yang lebih kompetitif.

Persaingan Fast Fashion dan Regulasi Perdagangan AS

Forever 21 kesulitan beradaptasi dengan era digital karena masih bergantung pada toko fisik. Sementara itu, brand luar negeri seperti Shein dan Temu memanfaatkan aturan perdagangan AS, yaitu “de minimis exemption.” Aturan ini memungkinkan barang impor bernilai di bawah USD 800 (sekitar Rp 13 juta) masuk tanpa bea cukai yang signifikan. Hal ini memberikan keuntungan besar bagi perusahaan berbasis di luar negeri dan memperberat persaingan bagi Forever 21.

Upaya Penyelamatan yang Gagal dan Pernyataan CEO Authentic Brands

Forever 21 pertama kali mengajukan kebangkrutan pada 2019 untuk restrukturisasi bisnis. Namun, pandemi COVID-19 semakin memperburuk kondisi perusahaan. Akhirnya, brand ini diakuisisi oleh Authentic Brands, yang juga memiliki beberapa merek ritel ternama lainnya.

Sayangnya, langkah ini tidak membawa perubahan positif. Bahkan, pada 2024, CEO Authentic Brands secara terbuka menyebut bahwa membeli Forever 21 mungkin adalah “kesalahan terbesar” yang pernah dilakukan perusahaannya.

“Forever 21 adalah brand dari generasi sebelumnya,” ujar Roger Beahm, profesor pemasaran dan direktur Retail Learning Labs di Wake Forest University. “Generasi muda saat ini menginginkan brand yang mencerminkan identitas mereka sendiri,” tambahnya.

Masa Depan Ritel Fast Fashion: Apa Selanjutnya?

Dengan penutupan seluruh gerai di AS, Forever 21 menjadi bagian dari daftar panjang merek ritel yang tidak mampu bertahan di era digital dan pergeseran kebiasaan konsumen. Kini, industri fast fashion menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan di tengah kompetisi yang semakin ketat dan perubahan tren yang cepat.

Apakah ini menandai akhir dari era fast fashion konvensional? Atau justru akan melahirkan model bisnis baru yang lebih adaptif dan inovatif? Hanya waktu yang akan menjawab.

Baca artikel seru lainnya di sini!


Sumber : detik.com

Share it :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *