AstraZeneca, salah satu perusahaan farmasi terbesar di dunia, mengumumkan investasi senilai $2,5 miliar (sekitar Rp39 triliun) di Beijing. Langkah ini bertujuan memperkuat kehadiran perusahaan di China, meskipun sempat menghadapi tantangan. Beberapa di antaranya adalah pembatalan rencana ekspansi pabrik vaksin di Inggris serta kasus hukum yang menimpa beberapa eksekutifnya di China.
Investasi ini akan dilakukan bertahap selama lima tahun melalui kemitraan dengan otoritas Beijing serta kolaborasi dengan tiga perusahaan bioteknologi lokal. AstraZeneca berharap langkah ini dapat mempercepat penelitian tahap awal dan pengembangan klinis melalui pusat penelitian baru yang dilengkapi laboratorium AI serta ilmu data mutakhir.
Komitmen Jangka Panjang AstraZeneca di China
Investasi ini sejalan dengan strategi AstraZeneca untuk memperkuat posisinya di China, yang telah menjadi pasar utama. Perusahaan telah menghabiskan hampir $10 miliar dalam 12 akuisisi di China. Salah satunya adalah pembelian Gracell Biotechnologies di Shanghai senilai $1,2 miliar pada tahun lalu.
CEO AstraZeneca, Pascal Soriot, menegaskan bahwa investasi ini mencerminkan kepercayaan perusahaan terhadap ekosistem sains kehidupan di Beijing. Ia juga melihat peluang besar untuk berkolaborasi dengan talenta terbaik dalam bioteknologi dan kecerdasan buatan.
Pusat R&D Baru dan Kolaborasi dengan Perusahaan Lokal
Sebagai bagian dari ekspansi ini, AstraZeneca akan membangun pusat penelitian dan pengembangan (R&D) keenamnya di Beijing. Pusat ini akan bekerja sama dengan Beijing Cancer Hospital dalam penelitian translasi, ilmu data, dan pengembangan klinis. Sebelumnya, AstraZeneca telah memiliki lima pusat R&D yang tersebar di AS (Boston dan Gaithersburg), Inggris (Cambridge), Swedia (Gothenburg), dan China (Shanghai).
AstraZeneca juga menjalin kerja sama strategis dengan beberapa perusahaan bioteknologi lokal. Perusahaan akan berkolaborasi dengan Harbour BioMed dalam pengembangan antibodi multi-spesifik serta dengan Syneron Bio untuk mengembangkan peptida makrosiklik sebagai generasi baru obat-obatan.
Selain itu, AstraZeneca telah membentuk usaha patungan dengan BioKangtai untuk mengembangkan, memproduksi, dan mengomersialkan vaksin inovatif. Pabrik manufaktur vaksin pertama dan satu-satunya AstraZeneca di China ini akan berlokasi di Beijing BioPark.
Menghadapi Kontroversi dan Tantangan Regulasi
Pengumuman investasi ini muncul enam bulan setelah delapan mantan dan karyawan AstraZeneca di China ditahan oleh otoritas setempat. Mereka diduga melanggar privasi data dan mengimpor obat tanpa izin. Selain itu, Presiden AstraZeneca China, Leon Wang, juga ditahan dalam penyelidikan terpisah dan dikabarkan sedang bekerja sama dengan pihak berwenang.
Di Inggris, AstraZeneca sebelumnya mendapat sorotan setelah membatalkan rencana ekspansi pabrik senilai £450 juta di Speke, Liverpool. Keputusan ini memicu perdebatan politik, terutama setelah perusahaan mengungkapkan bahwa perubahan kebijakan pemerintah turut mempengaruhi keputusan mereka.
Target Ambisius: 20 Obat Baru dan Pendapatan $80 Miliar
Langkah agresif AstraZeneca ini merupakan bagian dari rencana besar mereka untuk hampir menggandakan pendapatan global. Dari sekitar $45 miliar pada tahun 2023, AstraZeneca menargetkan pendapatan $80 miliar pada 2030. Sebagai bagian dari strategi ini, perusahaan berencana meluncurkan 20 obat baru dalam beberapa tahun ke depan.
Di tengah ekspansi ini, AstraZeneca juga menghadapi tantangan hukum terkait dugaan pajak impor yang belum dibayarkan senilai $900.000. Jika terbukti bersalah, perusahaan bisa dikenakan denda hingga lima kali lipat dari jumlah tersebut.
Kasus serupa pernah terjadi sebelumnya. Perusahaan farmasi asal Inggris lainnya, GlaxoSmithKline (GSK), didenda 3 miliar yuan (£297 juta) pada 2014 setelah terbukti melakukan praktik suap di China.
Baca artikel seru lainnya di sini!
Sumber : The Guardian