X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, sudah lebih dulu mengalami eksodus pengguna. Platform ini dianggap menjadi alat propaganda Musk untuk memenangkan Trump dalam pemilu AS. Akibatnya, banyak pengguna memilih untuk beralih ke pesaing seperti Bluesky.
Menurut laporan Reuters pada November 2024, Bluesky mengalami lonjakan pengguna hingga 2,5 juta dalam satu pekan setelah kemenangan Trump, membuat total penggunanya naik menjadi 16 juta.
Bluesky menegaskan bahwa mereka melihat pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya:
“Engagement pengguna seperti likes, follows, dan pendaftaran akun baru meningkat pesat. Kami mencatat penambahan lebih dari 1 juta pengguna baru setiap harinya.”
Sejumlah organisasi besar seperti Center for Countering Digital Hate, Guardian, serta mantan anchor CNN Don Lemon telah secara terbuka meninggalkan X karena kekhawatiran terkait kebijakan konten dan penyebaran misinformasi selama pemilu.
Tesla dalam Sorotan, Saham Anjlok Tajam
Pada Senin (10/3), saham Tesla mengalami kejatuhan terbesar dalam lima tahun terakhir. Situasi semakin memburuk setelah Jaksa Agung Pam Bondi berjanji menindak aksi vandalisme terhadap showroom Tesla, sementara Presiden AS Donald Trump menganggap aksi boikot ini sebagai bentuk terorisme domestik dan ilegal.
Trump bahkan mengunggah pernyataan di Truth Social yang membela Musk dan Tesla:
“Elon Musk telah melakukan pekerjaan luar biasa untuk negara kita! Namun, kaum kiri radikal mencoba memboikot Tesla secara ilegal hanya untuk menyerangnya. Ini adalah serangan terhadap industri otomotif besar dan nilai-nilai yang kita junjung.”
Gerakan “Tesla Takedown” yang dipimpin oleh aktor Hollywood Alex Winter dan akademisi Joan Donovan terus berkembang. Mereka mengajak masyarakat untuk menjual mobil Tesla, melepas sahamnya, dan bergabung dalam aksi protes. Sejauh ini, lebih dari 80 demonstrasi telah berlangsung, dan 70 lainnya dijadwalkan hingga akhir April.
Gerakan Boikot Tesla Meluas di AS
Elon Musk tengah menghadapi badai besar dalam dunia bisnisnya. Sejumlah perusahaan miliknya, termasuk Tesla, mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Boikot terhadap Tesla semakin meluas, terutama di berbagai negara bagian Amerika Serikat (AS). Aksi protes yang dikenal dengan nama “Tesla Takedown” semakin gencar sejak dimulai pada 15 Februari lalu.
Showroom Tesla di berbagai kota digeruduk oleh ratusan demonstran yang mengecam kebijakan Musk. Salah satu pemicunya adalah kebijakan pemangkasan besar-besaran di sektor pemerintahan federal oleh Lembaga Efisiensi Pemerintah (DOGE) yang kini dipimpin Musk. Pemangkasan ini menyebabkan pemecatan pegawai negeri, penghapusan program-program federal, serta konsolidasi lembaga pemerintahan.
Selain kebijakannya di pemerintahan, pandangan politik Musk juga menuai kontroversi. Dukungan terbukanya terhadap partai sayap kanan di Jerman serta tuduhan tak berdasar terhadap sejumlah politisi Inggris memicu gelombang reaksi negatif. Isu semakin memanas ketika Musk kedapatan berpose kontroversial dengan gestur mirip ‘salute’ ala Nazi saat menghadiri pelantikan Trump. Tak hanya Tesla dan Starlink, platform media sosial X juga mengalami penurunan drastis akibat aksi boikot ini.
Starlink Mulai Ditolak, Pasar Eropa Beralih ke Alternatif Baru
Setelah Tesla, kini Starlink juga menjadi target boikot. Layanan internet berbasis satelit ini awalnya bertujuan untuk menjangkau daerah terpencil yang tidak memiliki akses broadband. Namun, karena kontroversi yang melibatkan Musk, banyak pengguna di Eropa mulai meninggalkan Starlink dan mencari alternatif lain.
Barry Nisbet, seorang musisi Skotlandia, menyatakan keputusannya untuk berhenti menggunakan Starlink meskipun bisnisnya bergantung padanya.
“Saya tidak nyaman dengan peran Musk dalam politik AS dan monopoli bisnisnya,” ungkapnya.
Momentum ini dimanfaatkan oleh perusahaan pesaing seperti Eutelsat asal Prancis dan Viasat dari Inggris. Saham Eutelsat bahkan melonjak hingga 500% setelah perselisihan antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Richard Opie, seorang konsultan di Northumberland, mengatakan bahwa Starlink memang sangat membantu di daerah terpencil. Namun, kini ia mulai mempertimbangkan alternatif lain.
“Ini adalah dilema. Kami butuh layanan ini, tetapi kami tidak ingin terus mendukung Musk,” katanya.
Masa Depan Musk dan Perusahaannya di Ujung Tanduk?
Kritik dan boikot terhadap Musk terus berkembang. Jessica Caldwell dari situs otomotif Edmunds menyatakan bahwa Tesla sudah mulai kehilangan pangsa pasar bahkan sebelum aksi protes ini terjadi.
“Persaingan di industri kendaraan listrik semakin ketat. Konsumen kini punya banyak pilihan selain Tesla,” ujarnya.
Dengan meningkatnya sentimen negatif, investor Tesla pun mulai was-was. Apakah ini hanya gejolak sementara atau awal dari kejatuhan kerajaan bisnis Elon Musk? Jawabannya masih belum pasti. Yang jelas, publik semakin vokal dalam menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap sosok yang dulunya dipuja sebagai inovator terbesar abad ini.
Baca artikel seru lainnya di sini!
Sumber : cnbcindonesia.com