Warsiti, nenek berusia 75 tahun dari Jakarta Timur, sukses membangun usaha olahan lidah buaya dari nol hingga dikenal luas. Usahanya bermula pada 2006 saat ia membuat pupuk organik dari limbah dapur. Saat itu, ia juga merawat tanaman hias seperti gelombang cinta (Anthurium plowmanii).
Awal Mula Bertanam Lidah Buaya
Pada 2007, Warsiti mulai menanam lidah buaya secara iseng. Ia menggunakan lima pot dan melihat hasilnya tumbuh subur berkat pupuk buatannya. Melihat potensi tanaman ini, ia mengajak tetangga ikut menanam. Setelah membaca manfaat kesehatannya, ia mencoba mengolahnya menjadi minuman segar.
Pada 2008, Warsiti mulai fokus mengembangkan produk lidah buaya. Ia bergabung dalam Kelompok Wanita Tani dan aktif mengikuti pelatihan dari kecamatan. Dari sinilah muncul ide untuk membuat serbuk lidah buaya. Prosesnya memakan waktu lima jam dan sempat mengalami kegagalan beberapa kali.
Namun, setelah mencoba berulang kali, ia berhasil menemukan teknik yang tepat. Ia mulai menjual serbuk tersebut dan mendapat pembeli. Penjualannya dimulai dari lingkungan pengajian dan pertemuan komunitas.
Perluasan Usaha dan Dukungan Modal
Warsiti melihat peluang besar dan memutuskan mengajukan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke BRI. Ia meminjam Rp5 juta untuk membeli bahan baku dan kemasan. Meski sang suami wafat pada 2009, ia tetap melanjutkan usaha. Ia juga kerap mengikuti pameran yang diadakan BRI, tempatnya mengambil uang pensiun suaminya yang dulu bekerja di perusahaan farmasi milik negara.
Pada 2010, ia menawarkan produknya ke agen obat herbal. Agen tersebut setuju menjadi distributor antarprovinsi. Produknya terus berkembang, mulai dari botol 150 ml hingga 250 ml. Produksi meningkat dari 5 hingga 50 botol per bulan.
Rangkaian Produk dan Mitra Tani
Lidah buaya yang digunakan berasal dari dua jenis: Aloe vera chinensis dan Aloe barbadensis Miller. Ia membelinya dari tetangga dengan harga Rp3.000–Rp7.000 per kg, tergantung kualitas. Jenis pertama banyak dibudidayakan di Pontianak, sedangkan jenis kedua di Bogor dan Sukabumi.
Warsiti kemudian membuka toko bernama FaFa, diambil dari nama cucunya. Ia juga memproduksi minuman dan camilan berbahan lidah buaya. Produknya sudah tersertifikasi halal dan terdaftar di HKI sejak 2015. Ia lalu mendirikan PT Ummi Aloevera Indonesia pada 2020.
Produk serbuk lidah buaya dijual seharga Rp30.000. Sari lidah buaya ukuran 0,5 kg Rp20.000. Minuman botol dijual Rp10.000. Dari serbuk instan saja, penghasilannya bisa mencapai Rp20 juta per bulan. Ia juga telah mendapat izin edar dari BPOM pada 2023.
Regenerasi Bisnis Keluarga
Warsiti berharap usaha ini dapat diwariskan. Cucu pertamanya kini sering menemaninya dalam kegiatan UMKM. Bahkan, cucunya pernah ikut pameran UMKM di Turki pada 2020 dan ingin melanjutkan usaha sang nenek.
Peran BRI dalam Mendorong UMKM
Erwin Sapari, Kepala Departemen Usaha Mikro BRI RO Jakarta 2, menyatakan BRI aktif memberi pelatihan bagi pelaku UMKM. Mereka juga difasilitasi untuk mengikuti pameran guna memperluas jaringan pasar.
KUR BRI menawarkan bunga rendah, yakni 6 persen untuk pinjaman mikro (Rp10–100 juta) dan 9 persen untuk pinjaman di atas Rp100 juta. Sepanjang 2024, BRI telah menyalurkan KUR sebesar Rp184,98 triliun kepada lebih dari 4 juta pelaku UMKM di Indonesia.
Kisah Warsiti membuktikan bahwa kerja keras, inovasi, dan dukungan yang tepat dapat mengubah usaha rumahan menjadi bisnis berskala nasional.
Baca artikel seru lainnya di sini!
Sumber : cnnindonesia.com