Pasar saham dunia terguncang selama dua hari terakhir setelah China mengumumkan tarif balasan 34% terhadap produk asal AS. Kebijakan ini merupakan respons atas tarif 10% dari pemerintahan Trump yang mulai berlaku 2 April 2025.
Kementerian Keuangan China menegaskan bahwa tarif ini akan diberlakukan di luar tarif normal yang sudah ada. Pemerintah juga memperketat ekspor rare earth, komponen penting untuk baterai dan kendaraan listrik.
Sebanyak 16 perusahaan dan organisasi asal AS dimasukkan ke daftar kontrol ekspor. Artinya, perusahaan-perusahaan China dilarang berbisnis dengan mereka.
Komisi Tarif China menyebut tindakan AS sebagai “perundungan sepihak” yang bertentangan dengan aturan dagang internasional dan merugikan kepentingan sah China.
Di sisi lain, Trump membalas pernyataan tersebut di platform Truth Social. Ia menyebut China panik dan “tidak bisa menanggung” dampaknya.
Industri Rugi, Pasar Terjun Bebas
Gejolak ini membuat JP Morgan menaikkan proyeksi risiko resesi global dari 40% menjadi 60%. Saham-saham AS kehilangan kapitalisasi hingga $2,4 triliun. Di London, FTSE 100 jatuh lebih dari 300 poin—terparah sejak Maret 2023. Indeks Stoxx 600 di Eropa turun 4,4%.
Harga minyak Brent juga terperosok 6,6% ke level $65,50 per barel, terendah sejak Agustus 2021.
Sektor e-commerce asal China seperti Temu dan Shein turut terdampak. Keduanya selama ini memanfaatkan aturan bebas bea untuk barang di bawah $800. Namun, mulai 2 Mei, semua paket dari China akan dikenai tarif 30%, atau minimal $25. Tarif itu akan naik menjadi $50 di bulan Juni.
Analis: Semua Pihak Rugi
Wang Wen dari Universitas Renmin menyebut respons China tetap terkendali. Namun, analis lain seperti Stephane Ekolo menilai China memberikan reaksi yang agresif. Hal ini memperkuat kekhawatiran akan perang dagang berkepanjangan.
Profesor Shameen Prashantham dari Shanghai juga menyampaikan kekhawatiran. Ia menilai konflik ini adalah pukulan bagi perdagangan global dan tidak akan menghasilkan pemenang.
Organisasi industri di China ikut menyuarakan dukungan terhadap kebijakan pemerintah. Dewan Tekstil Nasional menyebut langkah AS merusak stabilitas rantai pasok industri global.
Sebagai langkah hukum, China kini menggugat AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Baca artikel seru lainnya di sini!
Sumber : theguardian.com