Dua raksasa e-commerce asal Tiongkok, Temu dan Shein, sempat muncul di toko aplikasi Apple dan Google Indonesia. Namun, kehadiran mereka langsung ditanggapi serius oleh pemerintah yang melarang Temu dan Shein beroperasi di Indonesia. Alasan utamanya, model bisnis keduanya dianggap merugikan pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) lokal.
Baik Temu maupun Shein mengusung strategi direct-to-consumer, yakni menjual produk langsung dari produsen di China kepada konsumen akhir tanpa melalui distributor atau toko lokal. Skema ini memungkinkan mereka menawarkan harga yang sangat murah, sehingga menciptakan persaingan yang tidak seimbang bagi pelaku usaha dalam negeri.
Di berbagai negara, Temu dan Shein memang memperoleh popularitas karena harga produknya yang jauh di bawah harga pasar. Namun, situasi berubah drastis sejak pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump mulai mengambil langkah keras terhadap barang impor dari China.
Trump menetapkan tarif impor sebesar 145% untuk produk dari China dan berencana mencabut kebijakan de minimis, yang selama ini memungkinkan barang impor di bawah US$800 masuk ke AS tanpa dikenakan bea masuk atau pemeriksaan bea cukai. Kebijakan ini sebelumnya menjadi fondasi operasional Temu dan Shein dalam menjaga harga tetap rendah di pasar AS.
Jika kebijakan ini benar-benar diberlakukan, maka potensi bisnis e-commerce lintas negara bernilai 2,63 triliun yuan (setara Rp6.039 triliun) terancam hilang.
Imbas Global: Penjual China Hengkang dari Pasar AS
Dampak kebijakan tarif tersebut tidak hanya dirasakan oleh Temu dan Shein, tetapi juga oleh ribuan penjual asal China yang selama ini mengandalkan platform seperti Amazon. Wang Xin, Ketua Shenzhen Cross-Border E-Commerce Association yang mewakili lebih dari 3.000 penjual, menyebut tarif ini sebagai pukulan terberat bagi pelaku usaha kecil dan menengah.
Menurutnya, bukan hanya tarif yang menjadi masalah, tetapi seluruh struktur biaya produksi, logistik, dan distribusi kini terguncang. Akibatnya, banyak penjual mulai menaikkan harga hingga 30% dan bahkan mempertimbangkan hengkang dari pasar Amerika Serikat.
Seorang pelaku usaha, Dave Fong, mengaku akan membiarkan stoknya habis tanpa restock, sekaligus memangkas belanja iklan Amazon yang sebelumnya menyerap 40% pendapatannya. Ia menegaskan bahwa ketergantungan pada pasar AS tak lagi masuk akal secara bisnis.
Brian Miller, pelaku bisnis lain dari Shenzhen yang telah menjual di Amazon selama tujuh tahun, juga mengungkapkan hal serupa. Ia menyatakan tak akan mengembangkan produk baru dan mulai mempertimbangkan relokasi produksi ke negara-negara seperti Vietnam atau Meksiko.
Kondisi ini menjadi sinyal serius bagi platform besar seperti Amazon yang selama ini sangat bergantung pada produk dari penjual China. Tanpa pasar AS, produsen China kemungkinan akan menghadapi perang harga lebih ketat di pasar global dengan margin keuntungan yang menipis.
Kesimpulan:
Larangan operasi Temu dan Shein di Indonesia merupakan langkah perlindungan terhadap pelaku UMKM lokal dari praktik harga murah tanpa perantara. Sementara itu, tekanan dari kebijakan perdagangan AS turut mempersempit ruang gerak bisnis e-commerce China di pasar global. Perubahan ini dapat mengubah lanskap dagang digital lintas negara dalam waktu dekat.
Baca artikel lainnya seputar tren digital marketing dan bisnis global hanya di Roledu:
roledu.com
Sumber : CNBCIndonesia