Presiden Amerika Serikat Donald Trump pekan lalu kembali menggemparkan dunia dengan kebijakan dagangnya. Ia memberlakukan tarif perdagangan terhadap 180 negara, termasuk Indonesia yang terkena tarif resiprokal hingga 32%. Trump mengklaim bahwa langkah ini akan menyelamatkan Amerika dari krisis ekonomi besar seperti yang terjadi pada tahun 1929.
Menurutnya, kebijakan tarif merupakan benteng yang seharusnya diterapkan sejak dulu untuk mencegah Depresi Besar. “Pada 1929, semuanya runtuh begitu saja. Jika mereka tetap memakai tarif, krisis itu tidak akan terjadi,” ujarnya seperti dikutip Associated Press, Selasa (8/4/2025).
Trump mengaitkan kebijakannya dengan sejarah ekonomi AS, menuding bahwa hilangnya kebijakan tarif menyebabkan krisis mendalam. Namun, benarkah proteksionisme ekonomi bisa menjadi solusi?
Jejak Panjang Tarif dalam Sejarah Ekonomi AS
Kebijakan tarif bukanlah hal baru bagi Amerika. Undang-Undang Tarif pertama ditandatangani Presiden George Washington pada 1789, yang mengenakan bea masuk 5% atas berbagai barang impor. Saat itu, tarif menjadi sumber utama pemasukan negara sekaligus pelindung industri lokal dari persaingan global.
Pasca perang tahun 1812, Kongres kembali menetapkan tarif baru pada 1817 guna menjaga industri dalam negeri, terutama tekstil. Proteksionisme ekonomi terus menguat, bahkan pada 1890, tarif melonjak hingga 49,5% berkat dorongan William McKinley, tokoh Republik yang kemudian menjadi presiden dan kini dianggap sebagai salah satu inspirasi Trump.
Namun, efeknya tidak sepenuhnya positif. Kenaikan harga yang drastis memicu penurunan daya beli. Krisis ekonomi pun pecah pada 1893, dengan pengangguran menyentuh 25%. Masa itu bahkan sempat dijuluki sebagai “depresi besar” sebelum tergantikan oleh Depresi Besar 1929.
Smoot-Hawley: Tarif yang Memperparah Krisis
Pada puncak Depresi Besar, Presiden Herbert Hoover mengesahkan Undang-Undang Smoot-Hawley meski mendapat tentangan lebih dari 1.000 ekonom. Kebijakan ini menaikkan tarif impor rata-rata sebesar 20% terhadap ribuan barang, yang langsung dibalas oleh negara-negara mitra dagang AS.
Akibatnya, perdagangan global terganggu, kerja sama internasional melemah, dan ketegangan antarnegara meningkat. Sejarawan mencatat bahwa ketidakstabilan ini turut membuka jalan bagi munculnya kekuatan otoriter di Eropa, termasuk Adolf Hitler.
Meski beberapa industri AS sempat meraih keuntungan, namun secara keseluruhan, kebijakan tarif justru memperburuk situasi. Pasar ekspor menghilang, produksi dalam negeri anjlok, dan konsumsi publik merosot tajam.
Kegagalan Proteksionisme sebagai Obat Krisis
Setelah mengalami kekalahan dalam pemilu, Smoot dan Hawley tetap membela tarif sebagai langkah patriotik. Hoover sendiri, dalam pidatonya tahun 1930, mengatakan bahwa krisis tidak dapat disembuhkan hanya melalui pernyataan politik atau kebijakan legislatif, melainkan oleh aksi nyata dari pelaku ekonomi.
Ekonomi AS baru benar-benar pulih ketika Perang Dunia II meletus pada 1939, yang mendorong lonjakan permintaan produksi dalam negeri.
Kebijakan tarif memang dapat melindungi industri lokal dalam jangka pendek, tetapi sejarah membuktikan bahwa proteksionisme ekonomi justru berisiko memperparah krisis global. Respon balik dari negara lain, kenaikan harga barang, dan gangguan perdagangan internasional menjadi efek samping yang sulit dihindari.
Langkah Trump saat ini bisa jadi akan mengulang kesalahan yang sama jika tidak disertai kebijakan pendukung yang memperkuat daya saing dan produktivitas industri lokal.
Baca artikel lainnya seputar ekonomi dan kebijakan global di sini:
roledu.com
Sumber : CBNCIndonesia