Harga minyak dunia mengalami penurunan tajam pada Rabu, 30 April 2025, mencatat penurunan bulanan terbesar dalam 3,5 tahun terakhir. Sentimen negatif datang dari sinyal Arab Saudi yang membuka peluang untuk meningkatkan produksi demi mempertahankan pangsa pasar. Situasi ini diperparah oleh perang dagang global yang meredam permintaan bahan bakar secara signifikan.
Mengutip CNBC, Kamis (1/5/2025), harga minyak Brent turun USD 1,13 atau 1,76% ke USD 63,12 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) anjlok USD 2,21 atau 3,6%, menjadi USD 58,22 per barel. Secara bulanan, Brent melemah lebih dari 15% dan WTI merosot 18%, menjadi penurunan terbesar sejak November 2021.
Penurunan ini terjadi karena Arab Saudi, sebagai eksportir minyak utama dunia, mengisyaratkan enggan memangkas pasokan untuk menopang harga. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi terjadinya perang produksi baru dalam waktu dekat.
Sinyal OPEC+ dan Efek Perang Dagang
Beberapa anggota OPEC+ disebut berencana menaikkan produksi minyak untuk bulan kedua berturut-turut pada Juni. Sumber Reuters menyatakan bahwa kelompok ini akan menggelar pertemuan pada 5 Mei guna membahas kuota produksi baru. Analis PVM menyebutkan bahwa jika diplomasi di Ukraina dan Iran berhasil, pasokan minyak global bisa meningkat secara signifikan dalam waktu dekat.
Presiden AS Donald Trump menambah tekanan dengan mengumumkan tarif baru atas seluruh impor pada 2 April. China merespons dengan kebijakan tarif balasan, memperburuk tensi dagang antara dua konsumen minyak terbesar dunia.
Ketidakpastian ini memperparah kekhawatiran akan pelemahan ekonomi global. Data terbaru menunjukkan ekonomi AS menyusut di kuartal pertama akibat lonjakan impor sebelum tarif diberlakukan. Survei Reuters menyebut, sebagian besar ekonom memprediksi resesi global bisa terjadi tahun ini. Indeks kepercayaan konsumen AS pun jatuh ke titik terendah dalam lima tahun terakhir.
Meski persediaan minyak mentah AS turun 2,7 juta barel menjadi 440,4 juta barel dalam sepekan terakhir April, kenaikan ekspor dan aktivitas kilang hanya mampu menahan sebagian penurunan harga.
Pada Selasa sebelumnya, harga Brent dan WTI juga turun lebih dari 2% karena investor khawatir OPEC+ akan menambah pasokan dan kebijakan tarif Trump akan memperlambat permintaan energi global. Direktur energi dari Mizuho, Bob Yawger, menyebutkan bahwa ketegangan perdagangan AS-China telah menyeret arus perdagangan ke titik semi-embargo, dan semakin hari kondisi ini mendekati kehancuran permintaan global.
Dampak perang dagang juga mulai terasa di sektor riil. Perusahaan logistik UPS mengumumkan pemutusan hubungan kerja terhadap 20.000 karyawan untuk mengurangi biaya. General Motors bahkan menarik proyeksi pertumbuhannya akibat ketidakpastian kebijakan perdagangan. Tekanan terhadap Trump membuatnya akhirnya melunak dan memberikan kelonggaran tarif untuk industri otomotif.
Baca artikel menarik lainnya seputar ekonomi dan bisnis digital di sini:
roledu.com
Sumber : liputan6.com